Umsida.ac.id – Indonesia dikenal sebagai negara agraris lantaran memiliki lahan hijau yang amat banyak di seluruh penjuru negerinya.
Namun siapa sangka, negara agraris itu ternyata menjadi negara importir gula terbesar di dunia.
Lihat juga: Program Petani Milenial, Se-Darurat Itu Kah Kondisi Pertanian di Indonesia?
Dilansir dari lama goodstats.id, pada periode 2023-2024, Indonesia diprediksi bakal mengimpor sekitar 5,6 juta ton gula.
5,6 juta ton gula tersebut adalah impor gula mentah (raw sugar) baik untuk konsumsi maupun rafinasi, serta impor gula konsumsi yang ditugaskan pemerintah
Lalu, mengapa Indonesia bisa menjadi importir gula terbesar se-dunia? Dosen program studi Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Intan Rohma Nurmalasari SP MP, penjelasan beberapa alasan terjadinya hal tersebut.
Alasan Indonesia Jadi Importir Gula Terbesar
Intan, sapaan akrabnya, mengatakan setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi.
“Yang pertama yakni dikarenakan konsumsi gula di Indonesia tidak hanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga industri makanan dan minuman, sehingga produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut,” ungkapnya.
Alasan kedua Indonesia menjadi importir gula terbesar di dunia adalah kapasitas produksi gula lokal yang masih terbatas.
“Entah itu dari sisi teknologi maupun lahan tebu yang tidak sebanding dengan kebutuhan. Meski pemerintah terus mendorong revitalisasi pabrik gula, hasilnya belum signifikan untuk memangkas angka impor,” lanjut dosen yang juga ketua pusat studi SDGs Umsida itu.
Intan berpendapat bahwa pola perdagangan tiap negara beda-beda. Misalnya di negara – negara Eropa yang cenderung lebih banyak mengimpor gula olahan, sementara Indonesia lebih fokus pada gula mentah yang nantinya diolah di dalam negeri.
Bagaimana Dampak Importir Gula Itu?
Dari status baru indonesia yang menjadi importir gula terbesar di dunia, akan berdampak pada beberapa hal. Menurut Intan, kondisi tersebut bisa menyebabkan tingginya harga gula di pasar lokal yang sering kali fluktuatif karena tergantung pada kondisi pasar global.
“Kalau harga gula dunia naik, otomatis harga di Indonesia juga bisa ikut melonjak,” katanya.
Selain itu, imbuh Intan, ketergantungan pada impor juga membuat Indonesia menjadi rentan terhadap beberapa risiko, seperti gangguan pasokan global.
Ia mengatakan, “Misalnya, kalau ada kebijakan baru di negara pengekspor atau cuaca buruk yang mempengaruhi panen tebu, maka Indonesia akan terkena imbasnya atau turut terdampak,”.
Upaya yang Bisa Dilakukan
Intan memberikan beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh Indonesia guna menghilangkan predikat “raja impor”, terutama sebagai importir gula.
“Perlahan tapi pasti kita harus upayakan mengurangi predikat tersebut dengan beberapa solusi,” tuturnya.
Lihat juga: Dilema Pertanian dan Ketahanan Pangan Indonesia Akibat La Nina
Beberapa solusi tersebut di antaranya:
- Meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi lokal
- Penting dan perlunya kerjasama bahu membahu seluruh pelaku pertanian maupun pemerintah untuk fokus memperbaiki infrastruktur dan teknologi sektor gula
- Pentingnya diversifikasi bahan baku, yakni dengan menggali potensi bahan pengganti gula, seperti pemanis alami dari tanaman stevia, kelapa, atau aren
- Upaya sosialisasi dan mebangun kesadaran masyarakat dalam pengendalian konsumsi. Misalnya diadakan edukasi ke masyarakat soal pentingnya mengurangi konsumsi gula demi kesehatan sekaligus mengurangi ketergantungan impor.
Penulis: Romadhona S.