Umsida.ac.id – Menjelang hari pencoblosan di Pilkada 2024, salah satu isu yang mencuat ke permukaan adalah keikutsertaan para anggota DPRD dalam proses kampanye para paslon yang berkompetisi.
Isu ini mencuat dalam beberapa waktu belakangan dikarenakan adanya seruan dari pihak penyelenggara Pemilu kepada anggota DPRD yang masuk dalam tim kampanye paslon untuk segera mengajukan izin kampanye atau cuti.
Lihat juga: Peran dan Sikap Muhammadiyah Menyongsong Pesta Demokrasi 2024
Seruan tersebut sontak menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat, termasuk dari internal anggota DPRD. Ada yang melihat kewajiban cuti tersebut sebagai bentuk kewajiban yang sewajarnya, mengingat aktivitas kampanye yang akan mereka jalani potensial menelantarkan tugas jabatan yang mereka emban saat ini.
Di sisi lain, ada yang berpandangan bahwa kewajiban cuti tersebut sejatinya tidak selayaknya diberlakukan bagi proses Pilkada, mengingat momentum pelaksanaannya yang tidak tepat, serta bentuk aktivitas kampanye yang sejatinya masih mungkin dijalankan secara efektif bersamaan dengan pelaksanaan tugas kedewanan mereka.
Regulasi Kampanye Bagi Pejabat Negara dan Pejabat Daerah
Regulasi kampanye dalam Pilkada 2024 diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Regulasi tentang kampanye oleh pejabat negara dan pejabat daerah diatur secara khusus dalam BAB VI tentang Kampanye oleh Pejabat Negara dan Pejabat Daerah.
Secara umum, ketentuan Pasal 53 Ayat (1) menegaskan bahwa pejabat negara dan pejabat daerah berhak untuk terlibat dalam proses kampanye selama memiliki izin kampanye dan tidak memanfaatkan fasilitas yang dilekatkan padanya sebagai pejabat negara atau daerah.
Keterlibatan pejabat negara/daerah dalam proses kampanye yang dimaksudkan dalam Pasal 53 PKPU No. 13/2024 berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7.
Kedua pasal tersebut menentukan bahwa skema kampanye yang hanya bisa dilakukan oleh Parpol atau Gabungan Parpol dan Tim Kampanye.
Dengan demikian, keterlibatan pejabat negara/daerah berkaitan dengan pelaksanaan kampanye oleh tim kampanye Paslon.
Untuk dapatnya mereka terlibat dalam proses kampanye, harus terlebih dahulu terdaftar dalam tim kampanye Paslon.
Secara prosedural, dalam Pasal 53 Ayat (2) dan Ayat (3), pendaftaran pejabat negara/daerah dalam tim kampanye harus diawali dengan pengajuan ijin kepada pejabat yang berwenang.
Setelah mendapatkan izin kampanye, pejabat terkait menyampaikannya kepada KPU dan ditembuskan ke Bawaslu, paling lambat tiga hari sebelum pelaksanaan Kampanye.
Hal yang menarik adalah kedudukan KPU sebagai penyelenggara Pemilu yang tidak berwenang dalam mengeluarkan izin kampanye bagi pejabat.
Kendati KPU tidak secara langsung memegang wewenang perizinan, KPU masih berperan dalam proses legalitas pejabat berkampanye melalui skema pendaftaran pejabat ke dalam tim Kampanye Paslon.
Peletakan wewenang pada pejabat yang berwenang, dapat dikaitkan dengan persyaratan untuk adanya izin kampanye, yakni kewajiban menjalani cuti sepanjang pelaksanaan kampanye.
Ketentuan Pasal 53 Ayat (1) menyatakan bahwa pejabat negara/daerah yang terlibat dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas jabatan dalam kampanye, serta wajib menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Kewajiban izin kampanye ini menjadi alasan yang logis untuk tidak meletakkan wewenang perizinan pada KPU, karena jika diletakkan pada KPU, maka skema izin kampanye menjadi tidak efektif.
Skema Perizinan Anggota DPRD sebagai Pejabat Daerah
Skema izin kampanye bagi pejabat daerah diatas sejatinya belum sepenuhnya clear and clean.
Ketentuan Pasal 53 Ayat (2) tidak gamblang mengatur kedudukan anggota DPRD, terlebih peletakan wewenang perizinan pada “pejabat yang berwenang” dalam huruf c, tidak disertai penjelasan terkait identitas pejabat yang dimaksud.
Definisi pejabat yang berwenang hanya dibatasi dengan klausul “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku untuk presiden, gubernur dan bupati. Identitas jabatan yang diberi wewenang penerbitan izin kampanye dinyatakan secara jelas, menteri bagi gubernur dan wakil gubernur, serta gubernur bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Penjelasan yang kurang gamblang terkait perizinan untuk anggota DPRD memunculkan kebutuhan untuk melakukan penafsiran sistematis guna memahami ketentuan dalam Pasal 53 Ayat (2).
Dalam konteks ini, penting untuk memahami kedudukan PKPU sebagai regulasi yang bersifat lex specialist dari beberapa pengaturan umum yang mendasari penyelenggaraan pilkada.
Untuk memahami kedudukan DPRD dalam rangkaian norma Pasal 53 PKPU, kita dapat mengaitkannya dengan ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Layaknya argumentasi KPU ketika mewajibkan anggota DPRD izin cuti, pemahaman atas kedudukan DPRD sebagai pejabat daerah dapat digali dari ketentuan pasal 95 ayat (2) dan pasal 148 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah.
Dalam ketentuan tersebut secara spesifik dinyatakan bahwa anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota adalah pejabat daerah. Ketentuan tersebut merupakan penegasan atas ketentuan pasal 122 UU No. 5 tahun 2014 terkait daftar pejabat negara yang tidak mencantumkan DPRD di dalamnya.
Dengan ketentuan tersebut, wewenang penerbitan izin bagi anggota DPRD berada pada pimpinan atau lebih tepatnya ketua DPRD.
Pernyataan yang belum sepenuhnya terjawab adalah terkait alamat pemberi izin kampanye bagi permohonan izin dan cuti dari ketua DPRD yang hendak mengikuti kampanye.
Namun, jika merujuk pada ketentuan Pasal 95 Ayat (1) dan Pasal 148 Ayat (1) UU Pemda, yang menggariskan DPRD sebagai “lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”, maka skema perizinan yang berlaku pada skema perizinan untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pasal 53 ayat (2) PKPU dapat digunakan.
Izin kampanye bagi ketua DPRD kabupaten/kota kiranya lebih tepat jika dikeluarkan oleh gubernur, mengingat hierarki kedudukannya. Bagaimana jika dalam waktu yang bersamaan gubernur – wakil gubernur mencalonkan diri sekaligus menjalani cuti kampanye? Dalam hal ini, izin kampanye dan cuti kiranya dapat diajukan kepada Menteri dalam negeri.
Izin Kampanye Harus Mempertimbangkan Tanggung Jawab Jabatan
Menilik dasar filosofis dan sosiologis yang melatari PKPU No. 13/2024, kewajiban izin kampanye yang diikuti dengan cuti di luar tanggungan negara, berkaitan dengan larangan penggunaan fasilitas negara untuk kampanye.
Kewajiban cuti digunakan sebagai instrumen untuk menjamin para pejabat daerah, termasuk anggota DPRD, untuk tidak memanfaatkan fasilitas negara bagi kepentingan politiknya.
Bagi sebagian pejabat yang ada, kewajiban cuti untuk menghindari penyalahgunaan fasilitas terlihat efektif, semisal bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik sebagai tim kampanye maupun sebagai paslon dalam Pilkada.
Terlepas dari efektivitas berlakunya izin cuti pada beberapa jabatan di atas, pemberlakuan izin cuti sejatinya tidak sepenuhnya efektif untuk beberapa pejabat daerah lain. Salah satunya bagi anggota DPRD yang terlibat dalam proses kampanye.
Parameter yang dapat digunakan untuk menilai rendahnya efektivitas kewajiban cuti bagi anggota DPRD yang terlibat dalam kampanye ada dua.
Pertama, rasio penggunaan fasilitas negara/daerah oleh anggota dalam kampanye. Kedua, beban/tanggung jawab jabatan yang potensial terbengkalai.
Dilihat dari aspek rasio penggunaan fasilitas negara/daerah oleh anggota dalam kampanye, dampak dari kewajiban cuti tersebut sejatinya tidak banyak berdampak pada potensi penyelewengan fasilitas daerah.
Kecuali ketua atau pimpinan DPRD, hak dan fasilitas yang berpotensi dapat disalahgunakan oleh anggota DPRD dalam proses kampanye pada dasarnya sangat terbatas.
Kondisi yang tentunya berbeda dengan kapasitas kepala daerah/wakil kepala daerah. Fasilitas yang dapat disalahgunakan mungkin di lingkup penyalahgunaan anggaran reses dan/atau penggunaan dana aspirasi.
Satu hal yang bahkan akan sangat sulit mereka lakukan untuk periodisasi kampanye Pilkada saat ini, mengingat sebagian besar anggota DPRD harusnya masih sibuk dengan proses penataan kelembagaan di internal DPRD.
Dilihat dari aspek beban dan tanggung jawab jabatan yang melekat pada mereka, regulasi izin cuti untuk dapat terlibat dalam tim sukses dan mengikuti prosesi kampanye, juga perlu ditinjau lebih lanjut.
Agenda Pilkada dan prosesi kampanye saat ini kiranya kurang kompatibel dengan agenda kerja anggota DPRD menjelang tahun anggaran baru 2025. Anggota DPRD saat ini baru sah menjabat sejak akhir Agustus yang lalu.
Dengan beban tugas yang berat dan harus diselesaikan sebelum akhir tahun ini, ketentuan wajib cuti tersebut kiranya tidak tepat. Kewajiban cuti bagi anggota dewan yang melibatkan diri dalam proses kampanye akan berdampak buruk bagi kinerja DPRD.
Niatan baik regulator untuk mereduksi potensi penyalahgunaan kewenangan dalam proses kampanye, berpotensi menghambat proses pembentukan Perda yang terjadwal, perancangan APBD dan Prolegda 2025, serta berbagai kewajiban anggota DPRD lainnya.
Dalam konteks negara hukum demokratis, partisipasi demokrasi adalah hak yang tidak dapat dikurangi, namun dalam kaitannya dengan anggota DPRD, penggunaan hak tersebut dibatasi oleh tanggung jawab publik yang melekat pada jabatan yang diembannya.
Sebagai pejabat daerah dengan tugas pokoknya melakukan perencanaan, perancangan dan pembuatan produk peraturan daerah dan anggaran daerah, maka izin kampanye yang diberikan atas anggota DPRD harus mempertimbangkan keterpenuhan tugas dan tanggung jawab tersebut.
Izin kampanye selama berpotensi menelantarkan tugas dan kewajiban konstitusional mereka, dengan cuti sekalipun, tidak layak untuk diberikan.
Menggunakan logika ushul, izin yang diberikan dalam kondisi tersebut secara esensial melanggar prinsip maqashid yang menekankan pertimbangan maslahat dan mudharat dalam tiap tindakan.
Dalam hal ini, izin kampanye dipandang lebih mendatangkan mudharat bagi publik secara luas, dibanding manfaat yang hanya tersedia bagi segelintir orang. Skema perizinan kampanye harus ditimbang berdasarkan tujuan esensialnya, ketimbang aspek prosedural administrasinya.
Sebagai instrumen pengendalian, izin berkampanye tetap harus ada. Namun demikian, perlu dipastikan bahwa skema perizinan itu tidak hanya menjamin tiadanya penyalahgunaan wewenang dan fasilitas publik.
Izin kampanye juga harus menekankan kesetimbangan antara hak berkampanye dengan terpenuhinya tanggung jawab jabatan dari anggota DPRD.
Kesetimbangan antara hak berkampanye dan tanggung jawab jabatan anggota DPRD sejatinya dapat dicapai dengan atau tanpa melalui proses cuti di luar tanggungan negara.
Kesetimbangan itu dapat dihadirkan dalam bentuk penataan jadwal kampanye yang dimungkinkan bagi anggota DPRD.
Pihak Penyelenggara pada dasarnya bisa menerbitkan jadwal kampanye khusus bagi anggota DPRD, yang pelaksanaannya berada di luar jam kerja, atau berada di luar agenda kerja yang sudah disusun oleh kesekretariatan DPRD.
Penerbitan jadwal khusus ini memungkinkan anggota DPRD melakukan tugas kampanye dari Partainya tanpa merugikan kewajiban dan tanggung jawab jabatan publiknya.
Pengaturan jadwal tersebut juga menjamin proses pengawasan kampanye anggota DPRD oleh pengawas Pilkada dan masyarakat berjalan jauh lebih mudah dan cermat.
Dengan sistem penjadwalan terpisah, praktik penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara dapat ditemukan dan dibuktikan dengan mudah. Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab anggota Dewan, serta agenda DPRD akan tetap bisa berjalan sesuai yang direncanakan.
Lihat juga: 6 Calon Menteri dan Wamen Prabowo Berasal dari Muhammadiyah, Ini Kata Rektor Umsida
Penataan jadwal di luar tugas juga akan mengakhiri polemik, keruwetan serta penyelundupan hukum yang saat ini marak diperbincangkan seiring dengan kewajiban izin kmapanye. Wallahu a’lam.
Penulis: Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH