Umsida.ac.id – Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat. Dengan populasi 271 juta jiwa, dan hampir 90 persennya beragama Islam, yang Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.
Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa Muslim Nusantara merupakan potensi dan kekuatan di Indonesia. Jika dimanfaatkan dengan tepat, akan menjadikan Indonesia sebagai negara berekonomi Islam yang kuat, maju, dan makmur. Meski dinilai terlambat, kini hal itu mulai disadari.
Negara dengan konsumsi produk halal terbesar
Kesadaran itu terlihat dari konsumsi atas makanan halal yang terindikasi dalam State of Global Islamic Economy Report (SGIER). Pada tahun 2022, The State of Global Islamic Economy Report mengungkapkan pada indikator ekonomi syariah, Indonesia berhasil menjadi peringkat 4 dunia. Sedangkan untuk kategori halal food, Indonesia menempati peringkat kedua setelah Malaysia. Trend konsumsi produk industri halal diprediksi juga akan meningkat 6,3% atau mencapai 1,38 triliun US dolar pada tahun 2024.
Sayangnya, Indonesia masih menjadi negara konsumen halal. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia hanya dapat bertengger di peringkat 10 sebagai negara produsen produk halal dunia. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, ternyata Indonesia hanya sebagai pasar konsumen produk halal.
Sebanyak 12,6% industri halal pada makanan diimpor ke Indonesia. Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sebanyak 30 juta produk usaha membutuhkan sertifikasi halal. Namun hingga kini, baru sekitar 725.000 produk yang bersertifikat halal dan 405.000 di antaranya berasal dari sektor UMKM.
Yang lebih mengagetkan, ternyata produsen makanan halal di dunia ini bukan dari negara yang mayoritasnya muslim, melainkan non-muslim yakni Brazil. Produsen produk konsumsi halal nomor satu di dunia adalah Brazil, lalu disusul Australia, dan negara lainnya. Republik Indonesia sebagai negara muslim terbesar, namun makanan halalnya masih impor.
Sepatutnya Indonesia bisa memenangi pasar industri halal global yang memiliki potensi yang sangat besar. Pada 2018, konsumsi produk pasar halal dunia mencapai 2,2 triliun US dollar dan akan terus berkembang mencapai 3,2 triliun US dollar pada tahun 2024. Faktor utama yang mendorong fenomena ini adalah peningkatan jumlah penduduk muslim di dunia yang telah mencapai 1,84 miliar orang pada 2017 dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 27,5 persen dari total populasi dunia pada 2023.
Dengan perkiraan penduduk muslim yang akan mencapai 2,2 miliar jiwa pada tahun 2030, maka angka perekonomian pasar industri halal global ini akan terus meningkat dengan pesat. Ini adalah kesempatan Indonesia untuk bermain di kancah industri halal dunia.
Namun untuk pemenuhan kebutuhan domestik saja Indonesia masih belum bisa. Apalagi pemenuhan kebutuhan negara lain. Ini menjadi persoalan. Meskipun didirikan banyak suprastruktur dalam bentuk regulasi terkait industri halal seperti rancangan peraturan pemerintah terkait BPJPH, maupun infrastruktur halal center dan lembaga penjamin halal untuk mempercepat proses sertifikasi halal. Namun jika kemampuan produksi Indonesia tidak digenjot, maka akan tetap saja Indonesia tidak akan bisa menjadi pemain utama industri halal.
Pilihan editor: Tanggapi Judi Online, Pakar Hukum Umsida: Aparat Bisa Bekerjasama dengan Google
Jika dibandingkan dengan Brazil, Indonesia secara kapasitas ekonomi kurang lebih sama. Secara statistik Angkatan kerja Brazil 120 juta (2017) dibandingkan Indonesia sebanyak 125 juta (2016). Tingkat pertumbuhan PDB di Brazil sebesar 2,4% (2018) sedangkan Indonesia 5,1% (2017); dengan PDB Brazil senilai $ 2,056 triliun (nominal, 2017); $ 3,388 triliun (PPP, 2018) dan PDB Indonesia sebesar $ 1,074 triliun (nominal, 2018); $ 3,492 triliun (PPP, 2018). Dari sisi HDI kurang lebih sama, Brazil sebesar 0.765 (Tinggi) sedangkan Indonesia sebesar 0.718 (Tinggi).
Mengapa Brazil bisa menjadi pemain utama makanan di industri halal?
Jika dibandingkan dengan Indonesia maka akan kita ketahui bahwa Brazil memiliki kapasitas dan kemampuan industri yang kuat, terlepas dari kehalalannya.
Dilihat dari data statistik dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Amerika Serikat adalah produsen daging unggas terbesar di dunia, dengan 18 persen dari produksi global, diikuti oleh China, Brazil, dan Federasi Rusia.
Sehingga untuk bermain di ranah industri halal, bagi para produsen besar sangat mudah. Ia tinggal melakukan shariah compliance atau mengikuti prosedur Syariah untuk bisa menghalalkan produknya. Sementara Indonesia meski memiliki regulasi dan halal center namun jika tidak memaksimalkan produknya, tentu tidak akan bisa bermain alih-alih menjadi pemain utama industri pangan halal dunia. Yang terjadi kemudian adalah impor.
Jika dibandingkan dengan Brazil, pemerintahan Brazil terlihat agresif untuk bisa penetrasi ke pasar-pasar internasional, termasuk Indonesia. Soal ekspor-impor ayam, mislanya, Indonesia pun mengalami dua kali kekalahan dalam persengketaan yang diselesaikan di World Trade Organization (WTO). Dan Brazil pun mendesak dilakukan investigasi atas larangan ayam Brazil masuk ke Indonesia.
Pilihan editor: Gunakan Bauran Pemasaran 4P, Bank Konvensional Jadi Andalan Sumber Modal Pedagang
Komoditas susah bersaing
Dalam hal impor ayam, Brazil mendesak Indonesia untuk membuka kran impor ayamnya. Namun Indonesia menolak karena standar halal yang tidak sesuai dengan Indonesia, terutama pada penggunaan mesin rotary blade. Penggunaan mesin ini tidak diizinkan pada SNI 99002 2016 tentang penyembelihan unggas.
Namun terlepas dari standar halal tersebut, terlihat jelas bahwa industri ayam Indonesia tidaklah seberingas Brazil yang penetratif. Sepatutnya Indonesia memberlakukan hal yang sama terhadap Brazil atas produk ayamnya jika memang tidak membutuhkan ayam impor atau produksinya berlebih, yang sepatutnya bisa berlebih jika mau. Dan jika benar kran impor ayam dari Brazil dibuka, produsen ayam dalam negeri akan babak belur, bahkan sekarat dan mati.
Komoditas lain yang juga mengenaskan adalah kedelai. Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengakui bahwa produk kedelai produksi Indonesia sulit bersaing dengan produk kedelai impor Amerika Serikat, Brazil, dan China. Dia mengungkapkan dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Senin (25/1/2021) bahwa harga kedelai di AS dan Brazil Rp 5.000 sekian (per kg), sedangkan di tanah air produksi di atas Rp 6.500 baru ada untungnya
Fakta lainnya, bahwa untuk kedelai, 1 hektar lahan hanya bisa menghasilkan keuntungan Rp 1,5-2 juta, itu pun termasuk besar, kemudian jagung bisa menghasilkan untung 4-5 juta/hektare, sementara padi Rp 5-6 juta/hektare. “Jadi dipaksa apapun mungkin nggak bisa,” sebut SYL.
Faktor lain yang membuat Indonesia kalah dari kedelai impor adalah adanya larangan produksi untuk Genetically Modified Organism (GMO) atau Organisme Termodifikasi secara Genetis, di antaranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal, sebagian besar produk impor yang masuk ke Indonesia masuk ke dalam klasifikasi itu. SYL mengakui itu juga menjadi salah satu penyebabnya.
Namun ironisnya, kedelai yang diimpor Indonesia adalah GMO. Sementara petani Indonesia tidak boleh produksi GMO, tapi Negara AS, Brazil lain-lain ekspor jagung, apalagi gandum baik gandum konsumsi, gandum untuk pakan, semua GMO. Kalau kita konsisten semua GMO maka tidak diperbolehkan untuk masuk Indonesia dan ini akan menyelamatkan petani kedelai Indonesia, dan juga petani petani lainnya.
Tidak aneh jika orang terus mengatakan Indonesia ini aneh. Sampai saat ini masyarakat Indonesia diperbolehkan negara untuk mengkonsumsi produk GMO yang seluruhnya dari impor, seperti jagung dan kedelai. Tetapi petani kita malah tidak boleh menanam GMO. Akibatnya, tidak ada minat dari petani untuk menanamnya dan bersaing dengan produk impor karena jelas kalah murah. Kelesuan ini seolah sengaja diciptakan untuk memberikan jalan lebar berkarpet merah bagi para penjajah ekonomi.
Dalam konteks tersebut, ini jelas ada banyak tangan tak terlihat raksasa, giant invisible hands, menjadi tangan-tangan iblis yang tak terlihat, yang kemudian memainkan regulasi Indonesia. Apakah pemerintah Indonesia memang tidak memiliki kekuatan untuk melawan tangan-tangan tak terlihat tersebut. Dan Indonesia benar-benar dikempit oleh negara-negara penganut ideologi ekonomi neoliberalis bin kapitalis sehingga petani Indonesia menjadi tidak berkutik. Petani pun seolah didesain untuk tidak produktif dan sengaja dikalahkan oleh produk luar negeri.
Lantas pertanyaannya, apakah ada pengaruh pemerintah menggalakkan industri halal dengan target menjadi pemain utama industri halal dunia, sementara belum ada komitmen pemerintah untuk meningkatkan industri dalam negeri dengan regulasi-regulasi yang menguntungkan petani dan produsen Indonesia sendiri. Banyak makanan dan barang yang diimpor meski pada dasarnya Indonesia mampu untuk mengembangkannnya sendiri.
Pilihan editor: Apakah Panic Buying Terjadi Karena Situasi Ekonomi, Gender, dan Pendidikan?
Meskipun industri halal digalakkan, Indonesia tidak akan pernah mampu menjadi pemain utama di kancah global industri halal jika kemampuan dan kapasitas industri halal kita sengaja dibelenggu oleh para makelar neolib bin kapitalis tersebut yang notabenenya adalah orang-orang yang ada di pemerintahan dan legislatif sendiri.
Semoga saja dengan masuknya ekonomi Islam dalam regulasi ekonomi di Indonesia bisa mengusir ekonomi iblis yang bercokol di Indonesia. Mengusir dan mengalahkan eksistensi baik itu negara penganutnya, sampai makelarnya yang ada di eksekutif dan DPR Indonesia, yang menikmati penderitaan atas rakyat Indonesia.
“Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.
(QS. Al Israa : 8)
Aamiin.
Penulis: Kumara Adji