Umsida.ac.id – DPR menetapkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan revisi UU Kejaksaan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025 menuai perdebatan di berbagai kalangan.
Pasalnya, revisi ini dinilai memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada korps Adhyaksa (Kejaksaan), yang dapat memunculkan ketimpangan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH menyoroti konsep dominus litis yang menjadi salah satu poin penting dalam revisi RUU KUHAP atau UU Kejaksaan.
Lihat juga: Pakar Hukum Tata Negara Umsida Beberkan 5 Alasan Presidential Threshold Inkonstitusional
Menurutnya, asas ini memang bersifat universal, tetapi harus dikontekstualisasikan dengan sistem hukum di Indonesia agar tidak menimbulkan permasalahan baru.
Dominus Litis dan Peran Korps Adhyaksa
Pada dasarnya, kata dosen yang biasa disapa Dr Rifqi itu, asas dominus litis berarti lembaga yang memiliki kendali penuh dalam penanganan perkara pidana.
Dominus litis adalah bagaimana suatu lembaga menjadi penguasa dalam proses penanganan perkara dalam konteks pidana.
Memang secara universal pengendalian terkait penanganan perkara itu ada pada sosok kejaksaan.
Namun, penerapan asas ini di setiap negara berbeda-beda, tergantung pada sistem hukum yang dianut negara tersebut.
“Jadi dominus litis adalah tanggung jawab kejaksaan untuk membuktikan dalil-dalil yang diajukan dalam proses penuntutan. Kewenangan yang diberikan kepada kejaksaan adalah untuk mengkoordinasikan, bukan mengendalikan,” terang Dr Rifqi.
Ia menambahkan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, peran penegakan hukum seharusnya dibagi secara proporsional antara berbagai lembaga seperti Polri, KPK, dan Komnas HAM.
Jika Kejaksaan diberikan kewenangan lebih besar, maka ada risiko bahwa fungsi dan tugas lembaga penegak hukum lainnya akan tergerus.
“Dulu jika kita bicara tentang dominus litis ini pada dasarnya adalah kejaksaan memiliki kewenangan dalam area penuntutan, tidak ada masalah di undang-undang sebelumnya karena konsep tersebut dalam RUU KUHAP dan UU Kejaksaan yang lama tidak sampai pada ruang-ruang yang hari ini dipermasalahkan,” ujarnya.
Kemungkinan Terjadinya Ketimpangan Kewenangan
Dr Rifqi menegaskan bahwa perubahan dalam RUU KUHAP dan UU Kejaksaan ini tidak hanya berdampak pada Kepolisian, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti KPK dan Komnas HAM.
Jika tidak ada kejelasan batasan kewenangan, maka akan terjadi overlapping peran yang dapat melemahkan sistem penegakan hukum secara keseluruhan.
Dominus litis ini dalam konteks diferensiasi fungsional dalam konteks penegakan hukum dalam suatu sistem ada yang disebut dengan kesetaraan lembaga penegak hukum.
“Ketika masing-masing lembaga hukum memiliki porsinya, batasan, dan pembagian tugas yang setara, maka semua elemen bisa saling mengoreksi dan mengimbangi. Dengan begitu proses penegakan hukum bisa transparan,” imbuhnya.
Namun, tambah Dr Rifqi, transparansi tidak bisa terjadi jika lembaga tersebut saling tumpang tindih kewenangan.
Jika muncul dominasi seperti saat ini, akan mengakibatkan absolute power corrupt absolutely.
Artinya, jika ada penumpukan kekuasaan di satu lembaga yang memiliki berlipat-lipat kewenangan tanpa ada batasan yang jelas, maka potensi munculnya korupsi dari lembaga dalam menjalankan fungsi kekuasaan akan lebih besar.
Menurutnya, jika konsep dominus litis tetap dipertahankan dalam revisi ini, maka harus ada pembatasan yang jelas tentang ruang lingkup pengendalian perkara oleh Kejaksaan agar tidak tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain.
Apa Perlu UU KUHAP dan UU Kejaksaan yang Baru?
Meski menyoroti beberapa kelemahan dalam revisi ini, Dr. Rifqi tidak menampik bahwa perubahan dalam RUU KUHAP atau UU Kejaksaan memang diperlukan.
“Karena bagaimanapun juga keduanya menjadi bagian dari proses perubahan yang diharapkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penegakan hukum pidana,” tutur dosen lulusan S3 UM Surakarta itu.
Ia mengungkapkan bahwa masalahnya bukan pada perlu atau tidaknya RUU KUHAP atau UU Kejaksaan yang baru. Melainkan cara merancang perubahan tersebut agar benar-benar membawa kebaikan.
Kemudian tentang prinsip diferensiasi fungsional, ia menggaris bawahi bahwa bagaimanapun juga, efektivitas dan efisiensi penegakan hukum pidana berdasarkan kemandirian lembaga hukum untuk menjalankan fungsinya.
Lihat juga: Jika Pilkada Dipilih DPRD, Apa Dampaknya?
Tanpa adanya independensi dari lembaga, penegak hukum tidak akan terjadi proses penegak hukum yang berkeadilan bagi setiap orang.
Penulis: Romadhona S.