Umsida.ac.id – Dalam pagelaran wisuda ke-45 tahun akademik 2024-2025, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menghadirkan Penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (PWM Jatim), Prof Achmad Jainuri MA PhD yang memberikan beberapa pesan dalam orasi ilmiahnya.
Lihat juga: Ketua PP Muhammadiyah: Umat Islam Harus Bersatu dalam Pendidikan dan Peradaban
Ia hadir dalam wisuda sesi 2 Umsida pada Sabtu siang, (26/7/2025) di Auditorium KH Ahmad Dahlan Kampus 1 Umsida.
Kalender Hijriyah Global Tunggal Jadi Ijtihad Tajdid Muhammadiyah
Sejak tanggal 25 Juni lalu, Pimpinan persyarikatan Muhammadiyah telah menetapkan kalender Hijriyah, meski ini bukan yang pertama
Dalam pidatonya, ia mengungkapkan bahwa sejak tanggal 25 Juni lalu, Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah telah menetapkan kalender Hijriyah, meski ini bukan yang pertama.
Penetapan serupa sebelumnya juga sudah dilakukan di beberapa negara, dan yang terakhir menurutnya adalah di Turki.
Namun, penetapan ini dinilai sangat penting dalam rangka mewujudkan dan melaksanakan kalender muslim yang diharapkan menjadi satu kalender bagi umat muslim di dunia.
Tujuannya adalah untuk menetapkan bulan-bulan dan tahun-tahun besar Islam serta waktu-waktu beribadah di dalam Islam.
Dengan demikian, akan tercipta kesatuan, tidak seperti yang selama ini terjadi, di mana penentuan dan pelaksanaan Idul Fitri, misalnya, yang sering berbeda.
Seperti pada tahun 1446 Hijriyah lalu, pada bulan Maret, ada yang memulai puasa pada 1 Maret, 2 Maret, dan Hari Raya pun berbeda antara 30 Maret, 31 Maret, bahkan 1 April.
Dalam pelaksanaan ibadah puasa, menurutnya, secara syariah seharusnya berlangsung 29 atau 30 hari.
Namun, dalam beberapa kasus, justru ada yang melaksanakan 28 atau bahkan 31 hari, yang bukan sesuai dengan syariah.
Dengan penyatuan kalender ini, ia harap puasa dan Hari Raya pertama dapat berlangsung serempak oleh masyarakat muslim seluruh dunia.
“Penetapan kalender ini bagi kami merupakan sebuah ijtihad yang merupakan bagian daripada tajdid di dalam Islam,” ujar Wakil Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Umsida itu.
Kritik Sosial dalam Semangat Perubahan Islam
Lantas ia mengutip salah satu penggalan ayat Al Quran surat Ar-Ra’d ayat 11:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
kondisi kita Bapak Ibu dan saya lihat sebagai bangsa Indonesia tidak akan berulang kalau kita sendiri tidak mau berubah.
Jelas ada sesuatu yang salah tapi tetap dilaksanakan
Ia menyampaikan bahwa kondisi bangsa Indonesia tidak akan berubah jika masyarakat tidak bersedia berubah.
Prof Jainuri menyoroti adanya praktik yang tidak adil, seperti para pejabat yang merangkap jabatan dan menerima tunjangan ganda.
“Kondisi seperti ini harus dirubah oleh para wisudawan Umsida. Mudah-mudahan saudara bisa membantu itu dengan menciptakan pekerjaan minimal untuk diri sendiri,” pesannya dihadapan atra wisudawan.
Makna Tajdid dan Penerapan Ilmu dalam Nilai Islam
Dalam bagian akhir orasinya, Prof Jainuri menjelaskan bahwa tajdid memiliki dua makna.
Pertama adalah sebagai jawaban terhadap tantangan kemunduran kehidupan umat muslim.
Gerakan ini disebutnya sebagai gerakan purifikasi, yakni memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan nilai yang tidak sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Ia juga mengutip hadis riwayat Abu Daud dalam Sunan Abi Daud yang menyatakan, “Innallaha yab’ats lihadzihil ummah ‘ala kulli ra’si mi’ah sanah man yujaddid laha dinaha”.
(Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini setiap penghujung seratus tahun seorang (pembaharu) yang melakukan pembaharuan hukum agama umat ini).
Hadis ini, menurutnya, juga dikuatkan dengan kaidah dalam Al-Asybah wan Nazhair karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi yang berbunyi, “Al-ashlu fil ashyai al-ibahah hatta yadullu ad-dalilu ala tahrimiha”.
Artinya, hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Makna kedua tajdid, imbuhnya, adalah modernisasi. Bukan dalam arti kebarat-baratan, tapi dalam rangka mengubah keadaan yang tidak baik menjadi baik, yang tidak rasional menjadi rasional, dan yang apa adanya menjadi yang seharusnya.
Ia menjelaskan bahwa hal ini berlaku untuk aspek-aspek non-ibadah, seperti sosial, budaya, dan ekonomi.
Lihat juga: Umsida Resmi Lepas 473 Mahasiswa KKN-T 2025, Wujudkan Kampus Berdampak di Berbagai Bidang
Penetapan kalender ini, katanya, menjadi contoh nyata bagaimana sains dan ilmu pengetahuan mampu menjelaskan prinsip dan nilai Islam, terutama dalam hal ibadah.
Penulis: Romadhona S.