Umsida.ac.id – Dewasa ini, ruang publik dan perempuan seakan-akan menjadi dua hal yang kerap dikaitkan dengan kejadian pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada beberapa aktivis, pegiat, ataupun kelompok yang aktif dalam menyuarakan hak asasi perempuan turut memberikan perlindungan kepada korban pelecehan seksual di ruang publik.
Dalam penelitian dosen program studi hukum Universitas Muhammadiyah yakni Emi Rosmawati SH MH, akan menjelaskan tentang perlindungan hukum bagi perempuan korban pelecehan seksual yang dilakukan di ruang publik.
Lihat juga: Dosen Umsida Tentang Siswa SD Buta Akibat Dicolok Kakak Kelas, Harap Edukasi Gender Ditegaskan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum bagi perempuan korban pelecehan seksual di ruang publik dengan menggunakan metode hukum normatif atau penelitian doktrinal.
Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai tindakan untuk memberikan pengayoman kepada seseorang yang telah dirugikan oleh pihak lain. Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Kekerasan dan pelecehan seksual
Pada awalnya kekerasan seksual hanya berupa kekerasan fisik saja, meskipun akibatnya juga berpengaruh terhadap psikologis korban. Kekerasan fisik bersifat umum mengenai korban secara gender, kekerasan yang merujuk kepada gender biasanya selalu perempuan selalu menjadi korban.
Sedangkan pelecehan seksual menurut Komnas Perempuan, mengacu pada perbuatan yang bernuansa seksual yang diutarakan melalui kontak fisik atau non fisik, yang bertujuan kepada bagian tubuh seksualitas seseorang.
Perbuatan ini diantaranya siulan, main mata, komentar ataupan perkataan yang bernuansa seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi serta keinginan seksual, colekan, sentuhan, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. Akibatnya akan menimbulkan rasa tidak nyaman, tersinggung atau merasa direndahkan martabatnya, dan kemudian hingga menyebabkan berbagai masalah kesehatan dan keselamatan.
Pelecehan Seksual di Ruang Publik
Permasalahan pelecehan seksual sudah banyak terjadi, terutama dalam lingkungan kerja. Pelaku pelecehan seksual umumnya tidak menyadari bahwa candaan terhadap korban pelecehan itu merupakan perilaku mereka yang menjurus kepada tindakan pelecehan.
Pelecehan seksual di tempat umum biasanya mempunyai ciri-ciri berupa ujaran, isyarat, dan tindakan yang tidak diinginkan dan dipaksakan kepada seorang di ruang publik tanpa persetujuan mereka. Hal ini didasarkan pada jenis kelamin, gender, ekspresi seksual, atau orientasi seksual dengan tujuan membuat yang dilecehkan merasa terganggu, terhina, marah dan takut.
Lihat juga: Simak 3 Poin yang Harus Dimiliki Mahasiswa dalam Menghadapi Teknologi
Peraturan perlindungan perempuan
Beberapa peraturan yang mengatur tentang perlindungan kekerasan terhadap perempuan, diantaranya:
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984. UU ini mengatur tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
- Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia
- Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 mengenai pengarusutamaan Gender
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Namun undang-undang tersebut belum maksimal. Karena menurut laporan tahunan dari Komnas Perempuan, kekerasan terus meningkat seiring dengan semakin tingginya angka pelecehan seksual
Disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) diharapkan mampu menjawab akan keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan tindak pidana pelecehan seksual yang semakin meningkat di Indonesia.
Upaya-upaya untuk mendorong korban kekerasan seksual/pelecehan seksual untuk berani bicara dan melapor. Maka dalam UU TPKS diatur mekanisme yang memberikan kemudahan kepada korban pelecehan seksual.
Masalah sistem hukum dalam melindungi korban
Agar sistem hukum bisa berjalan dengan maksimal, diperlukan adanya substansi hukum. Substansi hukum merupakan aturan yang tertulis maupun tidak tertulis sebagai acuan untuk menyelesaikan masalah hukum.
Substansi hukum terdiri dari dua macam, yakni hukum materiil dan hukum formil. Hukum materiil berisi peraturan yang mengatur perbuatan yang termasuk pelanggaran atau kejahatan, unsur tindak pidana, serta sanksi yang dijatuhkan. Sedangkan hukum formil adalah peraturan yang digunakan untuk melakukan penegakan hukum materiil.
Lihat juga: Yuk Kenali Gejala, Penyebab, dan Cara Pengobatan Kanker Tulang dari Pakar Umsida
Nah, kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang termasuk dalam hukum formil dan tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tapi faktanya, pelecehan seksual di ruang publik bersifat verbal, ini tidak sesuai dengan hukum materiil. Di dalam KUHP maupun UU TPKS hanya mengatur tentang pelecehan seksual yang bersifat fisik sehingga pasal yang dapat diterapkan pada pelecehan seksual di ruang publik adalah pasal perbuatan tidak menyenangkan, bukan kekerasan atau pelecehan seksual.
Oleh karena itulah, dalam riset ini bisa disimpulkan bahwa perlindungan hukum bagi perempuan korban pelecehan seksual di ruang publik belum maksimal. Peraturan perundang – undangan yang ada tidak sepenuhnya mendukung terlindunginya korban.
Sumber: Emy Rosnawati SH MH
Penulis: Romadhona S