Umsida.ac.id – Pada tanggal 26 Juli lalu, presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan. Salah satu poin dalam peraturan pemerintah tersebut adalah penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja.
Kebijakan tersebut tertuang PP nomor 28 pasal 103 ayat 4 yang meliputi deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.
Baca juga: Pelantikan dan Sumpah Profesi Ke-XI Fikes Umsida, Jejak Langkah 38 Lulusan Menuju Profesi Kesehatan
Tentu kebijakan ini menuai kontroversi dari berbagai pihak. Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Evi Rinata ST MKeb turut memberikan tanggapannya.
“Hal ini tentu sudah memicu terjadinya polemik di masyarakat bahkan sejak PP tersebut diluncurkan. Problem kesehatan, terutama kesehatan reproduksi sudah yang sangat kompleks. Ini ditambah dengan persoalan penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja,” ujar dosen prodi Kebidanan itu.
Harusnya, imbuh Evi, pelayanan kesehatan yang diberikan pada siswa, penekanannya pada edukasi kesehatan reproduksi, bukan pada penyediaan alat kontrasepsi. Ada beberapa aspek pelayanan kesehatan yang bisa diberikan untuk remaja. Diantaranya seperti sistem, fungsi, dan proses reproduksi, menjaga kesehatan reproduksi, perilaku seksual berisiko dan akibatnya, keluarga berencana, melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual dan pemilihan media hiburan sesuai usia anak
Penyediaan alat kontrasepsi perlu ditinjau lagi
“Menurut saya, penyediaan alat kontrasepsi ini yang perlu untuk ditinjau kembali,” ujarnya.
Kebijakan ini menurut Evi, dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat, terlalu banyak celah penyalahgunaan nantinya di lapangan. Setelah dilakukan tinjauan ulang PP ini, maka perlu dilakukan pengawasan implementasinya secara ketat.
Dosen lulusan S2 Kebidanan Universitas Brawijaya itu berpendapat bahwa pemerintah harus bisa mengevaluasi dan mengawasi jalannya PP ini. Karena Indonesia sangat luas dengan berbagai problematika kesehatan, terlebih pada masalah kesehatan reproduksi pada remaja itu sendiri.
“Menurut saya, penanganan masalah kesehatan reproduksi remaja selama ini belum terlalu maksimal. Apalagi ditambah dengan poin terkait penyediaan alat kontrasepsi ini,” ucap pengurus Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan Muhammadiyah Aisyiyah itu.
PP ditujukan bagi remaja yang sudah menikah
Dilansir dari laman CNN Indonesia pada Rabu (06/08/2024), Kepala Biro Komunikasi dan manusia dan Pelayanan Publik Kemenkes RI menyatakan bahwa alat kontrasepsi tersebut tidak ditujukan bagi semua remaja. Tapi untuk mereka yang sudah menikah dengan kondisi tertentu dan berencana menunda kehamilan.
“Bagaimana kita mengawasi remaja yang sudah menikah tapi menunda kehamilan? Tentunya akan sulit. Pun misalkan ada remaja yang sudah menikah dan membutuhkan pelayanan kontrasepsi karena ingin menunda kehamilan, selama ini di lapangan sudah terfasilitasi oleh Puskesmas dan bidan desa tanpa harus ada statement secara rinci tentang penyediaan alat kontrasepsi seperti yang tertulis di PP,” ujar Evi menanggapi pernyataan itu.
Sekali lagi Evi menekankan bahawa kebijakan tersebut pasti akan memicu polemik. Apalagi jika dikaitkan dengan agama mengingat mayoritas warga Indonesia adalah muslim, maka peraturan ini urgent untuk ditinjau kembali.
“Pemerintah harus duduk bersama untuk meninjau lagi sebelum mengesahkan peraturan yang kemungkinan menuai polemik di kemudian hari. Hal tersebut berguna sebagai antisipasi atas respon masyarakat ketika peraturan tersebut sudah disahkan,” tuturnya.
Baca juga: Tak Ada Lagi Jurusan di SMA, Ini Kata Pakar Umsida
Jadi pemerintah tidak hanya sekedar menyatakan dalam bentuk kalimat dalam peraturan dan undang-undang, tapi juga mengantisipasi konsekuensi yang harus dihadapi saat di lapangan. Seperti respon masyarakat dan monitoring dan evaluasi demi kebaikan bersama.
Sumber: Evi Rinata ST MKeb
Penulis: Romadhona S.