Umsida.ac.id – “Kekerasan seksual adalah kejahatan yang sulit untuk dibuktikan tetapi berdampak trauma yang panjang,” ujar Reza Triharmoko, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Umsida dalam menanggapi Perkemendikbudristek no 30 tahun 2021 dalam diskusi publik yang diadakan secara online, Selasa (23/11). Acara ini dapat diakses via Zoom meeting dan live streaming Youtube Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat Umsida.
Menurut Reza, trauma yang diakibatkan oleh kekerasan seksual dibuktikan dari beberapa kasus yang dialami korban. Beberapa korban mengalami dampak trauma psikis maupun psikologi. Dari kedua trauma ini menyebabkan korban enggan untuk berbicara bahwa mereka adalah korban dari kekerasan seksual.
Di sisi lain, adanya stigma masyarakat bahwa keperawanan adalah hal yang sangat penting membuat korban merasa lebih sulit untuk berbicara atau mengakui bahwa ia adalah korban karena takut bila ketahuan dirinya sudah tidak lagi perawan. Padahal yang ia alami bukanlah suatu unsur kesengajaan, melainkan keterpaksaan.
Dikutip dari pernyataan Profesor Nina Nurmila dari UIN Sunan Gunung Jati, bahwa banyak kasus kekerasan seksual terjadi di kampus, namun disembunyikan atas nama baik kampus. Fenomena ini seperti gunung es.
Lebih lanjut, merujuk pada survei yang dilakukan kemendikbud pada tahun 2020, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan jika kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun 63% diantaranya tidak melaporkan itu karena khawatir stigma negatif terkait kampus.
Padahal, bagi Reza, ketika ada kampus yang melaporkan tindak kekerasan seksual artinya kampus itu sedang menjaga nama baiknya. “Itu membuktikan jika kampus memerangi kejahatan seksual dengan harapan di kampus tidak ada kekerasan seksual selama pembelajaran berlangsung,” ungkapnya.
“Secara tidak langsung, nanti kalau ada yang ingin mendaftar masuk ke kampus itu, orang itu bisa tahu jika kampus itu benar-benar memberantas kekerasan seksual,” imbuhnya.
Sehubungan dengan Perkemendikbudristek no 30 tahun 2021, Reza menggarisbawahi jika ini merupakan sebagai angin segar mahasiswa dimana teman-teman mahasiswa bisa belajar dengan aman dan nyaman. “Sesuai dengan UU no 29 tahun 1999 pasal 30 tentang hak asasi manusia, jadi kita bisa belajar dengan nyaman tanpa khawatir adanya kekerasan seksual dari salah satu oknum yang bisa mengakibatkan tidak maksimalnya kita dalam proses kegiatan belajar,” tandasnya.
Ditulis : Angelia Firdaus