Sejauh Mana Media Sosial Mempengaruhi Interaksi Sosial Pengguna
Oleh: Alfaro Mohammad Recoba, S.I.Kom, alumni prodi Ilmu Komunikasi Umsida
Umsida.ac.id– Saat menjelajahi sosial media, tentu saja kita akan menemukan bahwa setiap orang adalah protagonist dari akun mereka, yang kemudian itu menunjukkan diri mereka sendiri untuk membuat branding diri secara online. Inilah era self-media. Twitter, Instagram, Facebook, TikTok, hingga platform-platform sosial media yang lain sangat mendorong pengguna untuk menunjukan diri secara serius dalam mengelola dan mengoperasikan akun. Dalam keadaan ini, apa yang dapat dilakukan?
Perlu diketahui bahwa self-media juga merupakan era di mana seorang pengguna media sosial menunjukkan diri mereka sendiri dan membuat pencitraan diri secara online. Dalam hal ini maka, ‘konten’ selalu menjadi inti. Ketika seseorang belum menjadi orang yang terkenal atau public figure tentu saja kualitas dan daya tarik dari konten yang hendak diunggah akan menjadi inti yang paling utama. Yang berarti bagaimana kemudian konten tersebut dikemas semenarik mungkin, agar mendapatkan engagement atau mengundang interaksi yang tinggi.
Kemudian, cara mengoperasikan dan mengelola akun itu penting. Hal-hal apa saja yang harus disertakan di dalam konten supaya bisa menjadi menarik dan menjangkau orang dengan luas? Artinya penting sekali bagi pengguna untuk mengikuti sebuah tren yang ada, sampai menambahkan sebuah tagar untuk menarik perhatian audiens.
Sebagai pengguna akun, sebuah interaksi juga tidak dapat diabaikan. Citra yang ramah harus dibangun untuk menarik lebih banyak koneksi. Tidak peduli pengguna yang lain itu adalah keluarga, teman, atau orang asing. Ketika sesama pengguna telah membangun hubungan baik, berarti koneksi positif telah terjalin. Meskipun hubungan online mempunyai kesan yang dangkal dan palsu, namun di era self-media, semua orang yang telah terkoneksi dan terlibat itu telah menciptakan lingkungan online sebagai wadah untuk mereka melakukan pemasaran diri dan membangun image.
Secara tidak langsung, dan secara tidak disadari, berdasarkan data dan fakta yang sudah terjadi, fenomena kehidupan di era self-media telah berlangsung lama sejak munculnya teknologi internet. Lalu dari fenomena ini, tentu saja ada sisi dampak negatif yang ditimbulkan, dan itu bisa bersifat bahaya bagi pengguna sosial media.
Kesimpulan sederhananya adalah era self-media telah mendorong seseorang (dalam hal ini adalah pengguna media sosial) supaya ingin menjadi populer dengan memiliki jumlah followers yang tinggi, jumlah like yang banyak, hingga komentar-komentar positif dari orang lain. Dari fenomena inilah, saya menemukan adanya aktivitas negatif di era self-media yang pernah menjadi sebuah penelitian, yang saya teliti. Salah satu aktivitas negatif yang ada ialah adanya kebohongan antarpribadi, khususnya pada platform sosial media TikTok.
Demografi pengguna TikTok di Indonesia berdasarkan data situs ginee.com yang menganalisis seberapa banyak jumlah pengguna TikTok, menyebutkan pada tahun 2021 ada sebanyak 76% pengguna TikTok di Indonesia yang usianya antara 18-34 tahun. Hal ini menjadi bukti bahwa TikTok merupakan salah satu media sosial dengan jumlah pengguna yang tinggi di Indonesia.
Dari informasi yang beredar, sering terjadi adanya kasus kebohongan di TikTok, yang itu mengakibatkan adanya pihak yang dirugikan. Salah satunya adalah kasus “Viral Video Pasangan Gancet di Tik Tok Ternyata Bohong, Hanya untuk Konten Saja?” yang dimuat di portal berita jurnalmakassar.com. Berdasarkan informasi yang dimuat dari portal berita Jurnal Makassar video tersebut menjadi perbincangan masyarakat hingga dianggap sebagai azab dari berzina atau berhubungan seks di luar nikah. Tetapi fakta sebenarnya dari video tersebut hanyalah settingan atau rekayasa yang sengaja dibuat sebagai hiburan. Akibatnya hal tersebut memicu seorang Uztaz hingga turun tangan.
Contoh Fenomena Kebohongan Pengguna Media Sosial
Kasus kebohongan lain yang pernah terjadi adalah kasus dari pengguna berinisial RA. Dalam kontennya, RA bersama kekasihnya yang berinisial RW saat itu mengunggah konten video vlog yang berjudul “Kacang Ijo vs Cokelat” video tersebut dibuat dengan menampilkan RA yang mengenakan seragam polisi. Dalam berita yang dimuat oleh Tribunnews.com tahun 2021, dijelaskan bahwa pengguna tersebut akhirnya ketahuan sebagai polisi gadungan setelah salah satu konten videonya viral di TikTok.
Dari keterangan pihak kepolisian, alasannya membuat konten tersebut hanya untuk bersenang-senang. Padahal, dampak dari kebohongannya tersebut dapat mencemarkan nama baik Kepolisian Republik Indonesia karena aktivitas informasi dalam unggahan konten yang ia buat. Bahkan RW selaku kekasihnya juga tidak mengetahui bahwa pada realitanya, selama ini RA bukan polisi sungguhan. RA hanya membeli seragam polisi secara online untuk melakukan hal guna memperoleh kesenangannya sendiri.
Beberapa contoh fenomena kebohongan yang terjadi, dapat dilihat bahwa media sosial TikTok termasuk salah satu medium komunikasi massa yang di dalamnya dapat mengandung kebohongan. Dalam studi ilmu komunikasi telah dijelaskan bahwasannya ada salah satu teori yang disebut IDT (Interpersonal Deception the Theory) atau Teori Kebohongan Antarpribadi.
Jika didasarkan menggunakan teori tersebut, fenomena kebohongan itu terjadi karena ada beragam motif yang membuat individu melakukan kebohongan. Yang pertama, individu secara sengaja melakukan penipuan dan menyesatkan informasi kepada orang lain. Kedua, individu menghindari supaya tidak menyakiti hati atau menyinggung perasaan orang lain. Ketiga, menghindari konflik dan mempercepat atau memperlambat hubungan.
Maka itu, dari semua pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa era self-media memiliki pengaruh yang membuat individu kerap melakukan aktivitas kebohongan. Kebutuhan citra diri, meningkatkan engagement dari akun mereka, membuat banyak orang yang minim ide positif bertindak menggunakan cara yang negatif, dengan salah satunya melakukan unsur kebohongan.
Padahal, cara negatif itu berdampak tidak hanya ke diri pelaku, namun juga berdampak ke orang lain. Tentu, kita sebagai pengguna media sosial, khususnya seorang content creator harus membuat konten-konten positif yang real dan dapat dipertanggung jawabkan. Semua konsep konten yang dibuat juga tidak boleh mengandung unsur kecurangan dan menyesatkan orang lain.
Sebaliknya, sebagai pengguna media sosial juga meski hanya bertindak sebagai penonton atau pelihat konten saja, kita harus cermat dalam mengkonsumsi konten-konten yang ada di media sosial. Beberapa poin penting yang perlu diketahui adalah, memastikan identitas dari akun yang kita ikuti. Perhatikan setiap akun yang kita ikuti. Apakah akun tersebut dikelola pribadi, atau milik sebuah kelompok dan organisasi. Periksa latar belakang dari akun tersebut, dan periksa fakta-faktanya. Tidak menelan mentah-mentah apapun jenis konten, dan tidak mudah percaya dengan konten di media sosial. Apalagi di era self-media banyak konten yang dapat dimanipulasi. Berhati-hati dengan konten provokatif.
Kita juga harus memahami bahwa media sosial adalah entertainment. Punya batasan penggunaan. Semakin sering seseorang melihat sebuah konten, makin mudah untuk mereka percaya, karena konten-konten media sosial punya kekuatan mempengaruhi persepsi. Meskipun tidak semua yang ada di media sosial itu palsu, tetap saja kita perlu memiliki kewaspadaan diri dan berhati-hati.
Penulis : Alfaro Mohammad Recoba
Editor: Rani Syahda Hanifa
*Humas Umsida