Umsida.ac.id – Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Hidayatulloh MSi berkesempatan mengisi kajian Ahad subuh oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah Beringinbendo sepanjang, Ahad (31/12/2023).
Pada kesempatan kali ini, ia menyampaikan kajian tentang kejujuran dan kemunafikan. Kejujuran atau ash shidqu menunjukkan kesesuaian antara yang di hati (niat) dengan ucapan dan perbuatan. Kejujuran berarti tidak berbohong, bebas dari kecurangan, mengikuti aturan yang berlaku, dan kelulusan hati sedangkan. Lawan dari kejujuran adalah kemunafikan.
Tanda-tanda orang munafik
Saat menyampaikan kajian Dr Hidayatulloh menjelaskan tentang tanda-tanda orang munafik ia mengutip dari hadis dan juga Alquran tentang tanda-tanda orang tersebut
“Seperti pada Hadis Riwayat Bukhari yang menjelaskan bahwa terdapat tiga tanda orang munafik. Jika berbicara ia dusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya, dan jika dia dipercaya maka dia berkhianat, ” ujar wakil ketua PWM Jatim ini.
Lalu ada pula hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Bin Ash yang berkata, “Jika bersepakat dengan orang lain menghianati kesepakatan itu dan jika bersengketa Dia berbuat kefajiran (curang licik)”. (HR Ibnu Hibban).
Baca juga: Ikuti Kegiatan PKMU, Mahasiswa Diharapkan Miliki Karakter UMSIDA
Al-Quran juga terdapat penjelasan tentang tanda-tanda orang munafik. Seperti pada surat at-taubah ayat 67-68 yang artinya, “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. Allah menjanjikan (mengancam) orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah (neraka) itu bagi mereka. Allah melaknat mereka; dan mereka mendapat azab yang kekal”. (QS. At-Taubah:67-68).
Peringatan untuk berkata jujur
Oleh karena itu, Allah telah memperingatkan dalam surat Al-Ahzab ayat 70 agar orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada Allah dan berkata dan perkataan yang benar. Dan dalam surat An-Nahl ayat 105 menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya yang mengada-ngada kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pembohong”.
Dalam kesempatan ini, Rektor Umsida bercerita tentang kisah Abu Nawas yang mengelabui raja dan rakyatnya.
Suatu hari Abu Nawas sedang berjalan di tengah pasar. Topinya dibuka sambil berjalan. Lalu ia melihat ke dalam topinya dengan penuh bahagia dan berseri-seri yang membuat orang lain heran. Abu Nawas bercerita bahwa di dalam topinya, ia melihat surga yang dihiasi bidadari yang cantik dan menawan. Namun hanya orang yang beriman saja yang bisa melihat pemandangan itu. Orang yang ada di pasar tersebut sebagian ada yang percaya dengan Abu Nawas, tapi banyak pula yang menganggap Abu Nawas berbohong. Singkatnya, ia diadili di depan raja.
Abu Nawas pun menawari raja untuk melakukan hal yang sama dengan rakyatnya. Dan pastilah raja tidak melihat surga apalagi bidadari dalam topi Abu Nawas. Namun mereka berpikir jika ia mengatakan bahwa ia tidak melihat surga, pasti reputasinya akan rusak. Oleh karena itu, raja mengatakan bahwa ia juga menyaksikan surga dan bidadari di dalam topi Abu Nawas.
Abu Nawas tertawa sendiri sambil bergumam, “Beginilah akibatnya kalau ketakutan sudah menenggelamkan kejujuran. Kebohongan pun akan merajalela”.
“Dari kisah tersebut dapat diambil beberapa pesan. Ketika keberanian lenyap dan ketakutan telah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan akan melenggang kangkung sebagai sesuatu yang “benar”. Lalu, ketakutan untuk berbicara jujur, juga karena faktor gengsi. Gengsi dianggap belum beriman atau dengan alibi/alasan lainnya. Padahal, label gengsi itu hanyalah rekayasa opini publik yang dipenuhi dengan kebohongan,” tuturnya.
Menurutnya, kepercayaan diri sebagai pribadi yang mandiri untuk berkomitmen pada kebenaran berdasarkan prinsip kejujuran telah dirontokkan oleh kekhawatiran label status yang sesungguhnya sangat subyektif dan semu. Kecerdikan konspirasi (kebohongan) opini publik Abu Nawas, telah menumbangkan kebenaran dan kejujuran. Akhirnya, kecerdasan tanpa kejujuran dan keberanian, takluk di bawah kecerdikan yang dijalankan dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri meski pun itu adalah kebohongan yang besar dan nyata.
“Kasus legitimasi kebohongan versi Abu Nawas ini, mungkin telah terjadi disekitar kita. Tentu dengan aneka versinya. Bagaimana dengan kondisi kita saat ini dan kemarin, hari ini dan esok…? Mari jujur dan berani!,” tegas Dr Hidayatulloh di hadapan jamaah.
Baca juga: 5 Prinsip Pendidik oleh Wakil Ketua PWM Jatim
Cara menjaga kejujuran dan dusta yang dibolehkan
Kejujuran bisa dijaga dengan menerapkan beberapa hal, seperti:
1. Niat dalam hati untuk jujur dan menjaganya
2. Pahami konsekuensi jika tidak jujur
3. Saling mengingatkan akan kejujuran
4. Menjalankan amanah dengan sepenuh hati
5. Membangun sistem untuk tegaknya kejujuran
6. Biasakan bersama-sama dengan orang yang jujur
Namun diriwayatkan dari beberapa hadis bahwa terdapat dusta yang diperbolehkan.
Seperti pada hadis riwayat Abu Dawud yang menatakan, “Saya tidak menganggap berdusta seorang yang mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan perkataan yang dia tidaklah menginginkan kecuali perdamaian, seorang yang berkata di dalam peperangan dan seorang lelaki yang berbicara kepada istrinya (tentang istrinya) dan seorang wanita yang berbicara kepada suaminya (tentang suaminya)”.
Baca juga: Atasi Stress Mahasiswa Dengan Tadabbur Surat Al-Insyirah
“Ada pula dari hadis riwayat Ahmad yang berkata bahwa Rasulullah memberikan keringanan untuk berdusta di tiga tempat, yaitu ketika berperang, ketika mendamaikan di antara manusia dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya,” pungkas Dr Hidayatulloh menutup kajiannya.
Penulis: Romadhona S.