Umsida.ac.id – Akhir-akhir ini dunia kedokteran mendapat sorotan lebih. Banyak ditemukan kasus-kasus yang melibatkan beberapa oknum dokter terkait adanya bullying hingga pelecehan seksual, terutama yang melibatkan dokter di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Lihat juga: Kunjungi Umsida, Ini 4 Strategi Kepemimpinan di Dunia Kedokteran Menurut Dekan FK UMS
Sebut saja seorang dokter PPDS Universitas Padjadjaran yang bertugas di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung yang melakukan aksi keji dengan memperkosa anak pasien yang tengah dirawat di rumah sakit tersebut.
Tak hanya kepada pasien, ternyata beberapa kejadian buruk juga terjadi di dalam internal PPDS sendiri. Seperti seorang dokter PPDS Universitas Diponegoro yang diduga bunuh diri karena mengalami bullying dan beban kerja yang sangat berat
Menanggapi kasus-kasus tersebut, Ketua Program Studi S1 Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), dr Nur Aini Hasan MSi, menjelaskan bahwa peristiwa itu bisa dikatakan sebagai budaya di dunia PPDS karena sistem yang diterapkan.
Ia menjelaskan bahwa tindakan kekerasan dan bullying di lingkungan pendidikan dokter spesialis sudah lama terdengar dan seolah menjadi budaya yang dilanggengkan.
“Siapa yang kuat bisa sekolah PPDS,” katanya.
Apa yang Membuat Dokter PPDS Melakukan Hal tersebut?

Dosen yang biasa disapa dr Nur itu menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab perbuatan itu.
Menurutnya, tekanan yang dirasakan para dokter PPDS sangat kompleks. Misalnya tekanan dari senior yang memiliki tanggung jawab terlalu banyak sehingga ia melemparnya ke junior yang kemudian dilampiaskan ke pasien.
Atau bisa juga jadwal dokter PPDS yang terlalu padat sehingga melebihi jam kerja dan tidak memiliki waktu pribadi, maka sangat memungkinkan peristiwa itu terjadi.
“Kadang jadwal dokter PPDS itu tidak normal. Misalkan seharusnya Iya bekerja selama 8 jam tapi tidak mungkin hanya 8 jam itu saja bisa saja sampai dua hingga tiga hari mereka tidak pulang,” katanya.
Ia mengatakan bahwa sebagian besar pelaku kekerasan dan pelecehan di PPDS dulunya juga korban dari sistem yang sama.
Terkadang mereka mendapatkan tuntutan lebih dari oknum dokter senior, bahkan tentang hal yang di luar pekerjaan.
Dan itu terjadi secara masif di dunia PPDS walau tidak semua departemen PPDS mengalami ini. Ia menyayangkan kejadian tersebut. Padahal mereka memiliki pilihan untuk menjadi senior menjamurkan budaya yang baik atau budaya bullying.
“Menjadi dokter PPDS tak hanya harus kuat finansial untuk biaya pendidikan, mereka juga harus kuat finansial untuk melayani senior,” ujar dokter yang mengenyam S1 di UMM itu.
Sistem Pendidikan Dokter PPDS Perlu Dibenahi
Menurut dr Nur, akar dari banyaknya kasus di dunia PPDS adalah sistem pendidikan yang perlu diperbarui.
“Memang dokter PPDS tersebut bersalah, namun kita harus untuk mencegah itu kita harus fokus di sistem pendidikannya,” tutur dr Nur.
Sistem pendidikannya harus diperbarui karena pendidikan PPDS membawa nama institusi, bukan rumah sakit.
Ia menggambarkan situasi di rumah sakit yang hanya memiliki sedikit dokter spesialis, sedangkan PPDS-nya sangat banyak.
Apalagi jika dokter spesialis tersebut memiliki banyak pasien yang harus dioperasi, di poli, dan rawat inap.
Mereka tidak memiliki waktu untuk mengajar dokter ppds sehingga dokter tersebut melimpahkan tanggung jawabnya ke PPDS senior. Dan pelimpahan tanggung jawab itu terus bertahun hingga ke level junior.
Oleh karena itu di program PPDS terbaru, mereka tidak lagi mendaftar ke universitas, melainkan akan mendaftar langsung ke rumah sakit tujuan.
Dengan sistem ini, imbuhnya, dokter spesialis bisa memiliki lebih banyak waktu untuk mengajar residennya.
Jadi menurutnya, kasus ini lebih berfokus pada upaya memperbaiki dari sistem pendidikan atau pelatihan untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan menghargai kesejahteraan emosional baik itu pasien maupun tenaga medis.
Peran Etika dan Pendidikan Karakter Dokter Sejak Dini
Lebih lanjut, dr Nur Aini menyoroti pentingnya etika dan pendidikan karakter dalam dunia kedokteran. Ia menegaskan bahwa seorang dokter harus memahami etika medis sejak awal pendidikan.
“Oleh karena itu, ketika kita lulus menjadi dokter, ada dua sumpah yang harus diucapkan, yaitu sumpah dokter muda dan sumpah dokter,” tegasnya.
Di kalangan PPDS, terang dr Nur, seharusnya ada keseimbangan antara pelatihan keterampilan medis dengan pengembangan karakter dan etika itu penting sekali. Jadi IQ, EQ, dan SQ para dokter bisa diterapkan dengan baik.
Lebih lanjut, ia mengatakan tentang peran institusi pendidikan kedokteran dalam perlu mempersiapkan generasi ke depan dengan lebih mengedepankan psikologi.
dr Nur bekata, “Nanti kita bisa belajar kedokteran kejiwaan dengan menerapkan pendekatan interdisiplin untuk memahamkan mahasiswa tentang psikologis, etika medis, dan aspek hukum.”
Selain itu perhatian tentang etika dan komunikasi juga perlu dipelajari mahasiswa kedokteran sejak mengenyam S1 agar kejadian ini tidak terulang.
“Saya sudah sampaikan kepada rekan-rekan agar nanti lulusan kedokteran Umsida bisa lebih mengedepankan akhlak selain ilmu. Karena ilmu tanpa akhlak bisa mengakibatkan hal-hal yang viral tersebut,” tutup dr Nur.
Lihat juga: Sepele Tapi Sakit, 6 Penyakit Gigi dan Mulut yang Sering Dialami
Ia tidak ingin kejadian ini berulang dan akan dinormalisasi di masa mendatang sehingga semakin merusak marwah dokter.
Penulis: Romadhona S.