Umsida.ac.id – Berbagai elemen mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) turut menanggapi kebijakan pemerintah soal Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).
Lihat juga: Pakar Umsida: RUU KUHAP dan UU Kejaksaan Berpotensi Timbulkan Ketimpangan
Dimotori oleh Badan eksekutif Mahasiswa (BEM) dan bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik Koordinator Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ((HPKP Korkom IMM) Umsida mengadakan konsolidasi dan diskusi mendalam mengenai RUU TNI di halaman Kampus 1 Umsida pada Kamis malam, (20/03/25).
Diskusi ini turut menghadirkan pemantik dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Umsida yang juga alumni Program Studi Hukum Umsida, Arya Bimantara SH.
Meskipun RUU TNI sudah disahkan, kegiatan ini berlangsung dinamis dengan berbagai pandangan kritis mengenai pasal-pasal kontroversial yang dinilai sarat kepentingan, serta menuai protes dari kalangan sipil dan akademisi.
Diskusi yang Mengungkap Fakta Dibalik RUU TNI
Ketua bidang HPKP Korkom IMM Umsida, Hanif Basyaeb menegaskan bahwa adanya pembahasan RUU TNI ada di meja rapat DPR RI mengindikasikan ada kepentingan pemerintah dan DPR untuk memberikan kewenangan lebih kepada anggota TNI turut aktif dalam urusan politik dan sipil.
“Andai RUU TNI ini dirancang untuk kebaikan bersama, agaknya perlu dalam pembahasan tersebut memberikan penjelasan dan jawaban urgensi seperti apa yang dibutuhkan 16 lembaga negara yang mengharuskan menempatkan anggota TNI aktif di dalamnya,” ujarnya.
Arya Bimantara dari LKBH Umsida dengan tegas mengungkapkan bahwa dalam RUU TNI dalam aspek proses, kurang sekali transparansi dan keterbukaan dalam pembahasan nya, sehingga hal tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap implementasi setelah disahkan.
Mahasiswa Mewaspadai Kebangkitan Dwifungsi TNI
Dalam sesi diskusi, Sultan dari perwakilan BEM Fakultas Agama Islam (FAI) Umsida mengungkapkan kekhawatirannya terkait implikasi revisi ini yang berpotensi merusak keseimbangan kekuasaan antara sipil dan militer.
“Posisi DPR dalam pembuatan UU ini tidak lagi mencerminkan kesetaraan antara sipil dan militer. Ada indikasi kuat bahwa revisi ini mengarah pada kembalinya dwifungsi militer secara perlahan,” terang Sultan mengkritik tajam.
Sementara itu, Valentino, perwakilan dari IMM Komisariat Prodi Hukum juga melontarkan pertanyaan kritis mengenai motivasi dibalik rancangan revisi ini.
“Apa sesungguhnya kepentingan hukum dari RUU ini? Mengingat banyak pasal yang justru memperluas kewenangan militer ke wilayah sipil tanpa adanya batasan yang jelas?”.
Pertanyaan ini mendapatkan tanggapan luas dari audiens yang hadir dan menjadi perdebatan intens yang memancing diskusi semakin dalam.
Mahasiswa Harus Terus Mengawal
Bima menjelaskan secara detail aspek-aspek hukum yang bermasalah dalam revisi ini, khususnya terkait dengan perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh perwira TNI aktif.
Ia menjelaskan bahwa revisi tersebut secara langsung akan memperlemah profesionalisme militer dan berpotensi besar mengembalikan budaya militerisme di berbagai instansi sipil.
“Mahasiswa dan masyarakat sipil harus lebih aktif dalam mengawal proses legislasi ini demi mencegah munculnya pelanggaran demokrasi yang lebih besar,” tuturnya.
Diskusi ini kemudian melahirkan rekomendasi aksi yang konkret. Peserta diskusi sepakat bahwa harus ada gerakan lebih luas untuk mendesak DPR agar lebih transparan dan terbuka mengenai revisi ini.
Lebih jauh lagi, Korkom IMM dan BEM Umsida secara tegas bersikap menolak revisi ini dengan landasan kuat yang menyerukan pentingnya keadilan, transparansi, dan kesetaraan di muka hukum.
Lihat juga: LKBH Umsida 5 Pakar Tanggapi Kontroversi RUU KUHAP dan UU Lainnya
“Sebagai kaum akademisi, kita wajib mengingatkan agar kekuasaan tidak disalahgunakan, sebagaimana ditegaskan dalam UUD tentang pentingnya keadilan dan amanah dalam memegang jabatan,” tegas Banna, Presiden BEM Umsida.
Penulis: AHW
Penyunting: Romadhona S.